Ah, musim hujan. Aku selalu suka hujan. Ada romantisme tersendiri
dari hujan, entah kenapa, mungkin datang dari percampuran antara cemas
menemukan tempat berteduh, pengharapan melihat pelangi pas hujan
selesai, dan merenung sendiri dari balik kacamata yang berembun. Hujan
membawa itu semua: cemas, harap, dan perenungan.
Aku suka hujan. Aku suka menyetir mobil di bawah hujan sambil
melamun, melihat jalanan melalui kaca yang dipenuhi oleh titik-titik
air. Lalu aku menghapusnya dengan wiper, yang tentu saja percuma, hanya
untuk melihatnya basah kembali: setitik demi setitik demi setitik demi
setitik… hingga aku menghapusnya lagi. Dan ulangi. Lalu aku menyetel
radio, bernyanyi sumbang, yang tersamarkan oleh bunyi kaca yang ditempa
air. Aku suka tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Aku suka dibungkam
tanpa sengaja.
Aku suka hujan. Terutama aku suka bau air yang bercampur dengan
tanah, bau lumpur samar itu. Aku selalu menciumnya dengan brutal,
menghirup dalam-dalam dan menahan napas, supaya tidak terlupakan oleh
bau yang lain. Aku ingat, sewaktu masih kecil, aku selalu suka menari di
bawah hujan, teriak bersama teman-teman dan mengecap rasa asin yang
mampir di bibir. Dan ketika keesokannya harinya meriang? Aku gak peduli.
Tapi aku selalu takut dengan badai. Dengan kemampuannya untuk
merusak, menghancurkan yang telah ada. Menyapu bersih apa yang pernah
aku bangun. Menelan semuanya dalam satu kali jentikan jari, atau kurang.
Badai dengan angin kencang, petir nyaring, dan kilatan yang menyilaukan
mata. Badai bisa membuat orang hilang. Badai bisa membuat orang
bimbang. Badai bisa, menyesatkan.
Dan ketika badai semacam itu datang,
yang diperlukan hanyalah keberanian untuk menari di bawah hujan.
Hei, kamu. Pegang tanganku.
Kita menari bersama. Ya?
BY : RADITYA DIKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar